STANDAR PEMBIAYAAN PENDIDIKAN
Sofian Effendi1
UUD 1945 menetapkan salah satu kewajiban konstitusional negara adalah
mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam rangka melaksanakan cita-cita nasional tersebut
PT mempunyai tugas amat luhur dan menjadi harapan para warga bangsa. PT tidak saja
dipandang mampu menentukan kemajuan dan masa depan bangsa melalui peningkatan
kinerja ekonomi nasional, tetapi juga diharapkan mampu menciptakan keadilan sosial
melalui akses ke perguruan tinggi.
Subsidi adalah instrumen kebijakan yang digunakan Pemerintah Indonesia untuk
merealisasikan keadilan dan pemerataan pada berbagai pelayanan publik, termasuk
pendidikan tinggi. Pada tahun anggaran 2004, misalnya Pemerintah menyediakan hampir
Rp 100 trilyun untuk subsidi, diluar subsidi untuk pendidikan tinggi sebesar Rp 6,1
trilyun.
Pembiayaan untuk peenyediaan layanan pendidikan tinggi selama ini didukung
oleh APBN yang jumlahnya masih belum cukup memadai, sekitar 2 persen dari total
pengeluaran pemerintah. Pengeluaran pemerintah tersebut adalah untuk subsidi biaya
pendidikan tinggi sebesar 80-85 persen dari total biaya pendidikan per mahasiswa.
Namun sekarang, kondisi keuangan pemerintah tidak setebal dulu, padahal untuk
menmpoertahankan standar mutu nasional dan peningkatan akses PT perlu dukungan
dana yang semakin besar. Pilihan yang dilematis sekarang harus dibuat oleh Pemerintah.
Apakah kebijakan status-quo dilanjutkan dengan menyediakan subsidi seadanya sebesar
Rp. 6,2 juta per orang untuk semua mahasiswa dengan konsekuensi PT tidak mampu
mempertahankan mutu akademik dan akses semakin timpang? Atau, beri PT kemandirian
untuk melakukan strategi pembiayaan yang lebih rasional sehingga dapat meningkatkan
1 Penulis adalah Guru Besar Kebijakan Publik dan Rektor Universitas Gadjah Mada.
2
mutu, meningkatkan tingkat partisipasi PT menjadi 20 persen pada 2010, serta
peningkatan akses kelompok masyarakat kurang mampu ke PT berkualitas?
Resep Prof. Nicholas Barr
Ternyata Indonesia bukan satu-satunya bangsa yang mengghadapi kondisi
dilematis ini. Bangsa Inggris juga sedang menghadapi masalah pendidikan yang sama
yakni, merosotnya kualitas akademik dan rendahnya akses golongan ekonomi lemah ke
perguruan tinggi.
Prof. Nicholas Barr, profesor ekonomi publik dari London School of Economics
(LSE), mengajukan resep cukup menarik untuk dipelajari. Versi ringkas pikiran Prof.
Barr sudah diterbitkan di harian The Guardian edisi Juni 12, 2003 dengan judul “How
best to widen university access – by abolishing fees as Tories suggest, or by enhancing
loans, as the government plans”? Versi lebih lengkap diterbitkan dalam bentuk white
paper berjudul “Financing Higher Education: Comparing the Options” yang disusunnya
untuk Partai Buruh yang sedang berkuasa di Inggris.
Menjelang Pemilu tahun 2004, salah satu agenda politik yang dipilih oleh dua
partai yang sedang bersaing keras berebut dukungan publik Inggris adalah isu
kemerosotan mutu dan terbatasnya akses golongan lemah ke perguruan tinggi. Partai
Torries, yang merupakan partai oposisi, berjanji akan meningkatkan akses golongan
kurang mampu dengan memberi subsidi penuh kepada mahasiswa. Sebaliknya, Partai
Buruh yang sedang berkuasa, menjanjikan akan meningkatkan akses golongan kurang
mampu melalui pembayaran yang ditangguhkan (deferred payments). Sederhananya, para
mahasiswa dari keluarga mampu boleh kuliah dulu dan membayar kemudian.
Menurut penilaian Barr, subsidi penuh dan pembebasan biaya pendidikan tidak
selalu menyebabkan akses yang lebih adil dan merata pada pendidikan tinggi.
Menggunakan penerimaan dari pajak sebagai sumber pembiayaan pendidikan tinggi akan
menyebabkan dana untuk program lainnya menjadi berkurang. Dalam real politics,
subsidi untuk pendidikan tinggi selalu kalah dengan sistem kesehatan nasional dan untuk
membiayai pendidikan wajib dan program pra-sekolah.
Kedua, dalam pelaksanaannya subsidi di Inggris selalu kurang menguntungkan
kelompok miskin. Selama bertahun-tahun, akses keluarga kurang yang mampu ke
pendidikan tinggi hanya 15 persen, dibandingkan 81 persen dari keluarga mampu.
3
Sebaliknya, di Amerika yang mengikuti sistem pasar, akses keluarga kurang mampu
mencapai 43 persen.
Ketiga, subsidi pemerintah selalu lebih menguntungkan kelompok yang lebih baik
kondisi ekonominya. Di Inggris cukup banyak anggota masyarakat yang mendukung
rencana sistem pajak progresif. Namun, mereka mengharapkan penerimaan pemerintah
dari pajak lebih digunakan untuk pendidikan pra-sekolah, menurunkan angka drop-outs
pada SLTA, meningkatkan kualitas pendidikan kejuruan, serta program khusus untuk
anak-anak keluarga tidak mampu.
Opsi kedua, yang menjadi agenda politik Partai Buruh, adalah usul sebaliknya.
Masyarakat yang memerlukan pendidikan tinggi bermutu tinggi harus membayar biaya
investasi masa depannya. Yang lebih mampu harus membayar lebih tinggi dan akses ke
pendidikan tinggi dibiayai melalui pinjaman.
Belajar dari kegagalan masa lalu dalam pelaksanaan student loans, Pemerintah
menjamin pembayaran kembali melalui pembayaraan pinjaman melalui potongan gaji
bersamaan dengan pemungutan pajak penghasilan. Pembayaran melalui pemotongan gaji
ini memungkinkan adanya pembayaran secara progresif. Yang berpendapatan rendah
mengangsur lebih rendah dan yang berpendapatan tinggi mengangsur lebih besar. Opsi
ini pada dasarnya ingin mendorong alokasi anggaran pendidikan dari kelompok mampu
yang tidak lagi menerima subsidi ke kelompok tidak mampu yang menerima pinjaman
untuk mendapatkan akses ke perguruan tinggi..
Mungkinkah diterapkan di Indonesia?
Seperti halnya di Inggris, pendidikan tinggi kita saat ini sedang menghadapi 3
tantangan yang amat berat yakni kesenjangan mutu dibandingkan dengan PT regional
Asean, tingkat partisipasi terbatas, hanya 13 persen, dispartitas akses antara golongan
masyarakat kurang mampu dan yang mampu, dan rendahnya efisiensi internal.
Untuk mengatasi ketiga tantangan tersebut diperlukan dukungan biaya cukup
besar. Simulasi yang diadakan oleh rekan-rekan di UGM, memperkirakan biaya untuk
meningkatkan akses keluarga kurang mampu dari kondisi sekarang, 3.3 persen menjadi
10 persen dengan angka partisipasi pendidikan tinggi sebesar 15 persen, diperlukan biaya
pendidikan sebesar Rp.19,9 trilyun, dengan catatan biaya pendidikan Rp. 18,1 juta per
mahasiswa per tahun seperti rencana Ditjen Dikti. Jumlah tersebut hanya untuk
4
membiaya lebih kurang 1 juta mahasiswa di seluruh PTN. Untuk membiaya 5,6 juta
mahasiswa di seluruh PT diperlukan biaya sebesar Rp. 69,4 trilyun per tahun. Bila
standar mutu yang hendak dicapai adalah standar mutu di PT Malaysia, diperlukan
anggaran sebesar Rp. 154 trilyun per tahun untuk 1 juta mahasiswa PTN,. Untuk
menyediakan pendidikan tinggi berstandar mutu regional Asean bagi 5,6 juta mahasiswa
diperlukan biaya sebesar Rp. 662,4 trilyun.
Ada tiga opsi yang dapat dipertimbangkan oleh Pemerintah untuk membiayai
pembangunan pendidikan tinggi yang bertujuan mengatasi 3 masalah pokok sebgaimana
dimaksud. Opsi pertama, adalah seperti opsi yang dipilih Partai Torries di Inggeris,
Pemerintah memberi subsidi pendidikan tinggi untuk semua mahasiswa yang diterima di
perguruan tinggi, Untuk merealisasikan janji politik ini perlu disediakan anggaran
pendidikan tinggi sebesar Rp. 19,9 trilyun sampai Rp. 69,4 trilyun, tergantung dari
standar mutu dan tingkat partisipasi yang hendak dicapai. Artinya diperlukan peningkatan
pengeluaran untuk pendidikan tinggi antara 3 sampai 12 kali, tergantung dari standar
mutu yang hendak dicapai.
Opsi kedua, adalah Subsidi Silang dengan menerapkan full-payment kepada
keluarga mampu, memberi subsidi penuh kepada mahasiswa dari keluarga tidak mampu,
dan subsidi 50 persen kepada mahasiswa dari keluarga berpenghasilan menengah. Biaya
untuk melaksanakan opsi ini berkisar antara Rp. 11,4 trilyun sampai Rp 97,1 trilyun bila
standar mutu yang hendak dicapai adalah standar mutu PT di Malaysia dan Singapura.
Opsi ketiga, adalah Penyediaan Pinjaman Pendidikan Tinggi dengan subsidi
bunga kepada keluarga tidak mampu dan keluarga kurang mampu. Jumlah kredit
tergantung dari besarnya biaya pendidikan yang dikenakan oleh masing-masing
Universitas. Biaya yang harus disediakan Pemerintah untuk subsidi bunga berkisar antara
Rp. 798 milyar untuk standar nasional sampai Rp. 6,797 trilyun per tahun untuk kira-kira
1, 3 juta mahasiswa perguruan tinggi negeri yang mencapai standar mutu PT Malaysia
dan Singapura. Angsuran pinjaman pokok sebesar Rp 72 juta per mahasiswa untuk
membiayai pendidikan tinggi selama 4 tahun dengan standar nasional, sampai Rp. 616
selama 4 tahun untuk pendidikan tinggi berkualitas Malaysia dan Singapura dibayar
kembali dengan mengenakan potongan terhadap pendapatan sejumlah persentase tertentu.
Dengan kata lain system pembayaran seperti ini memungkinkan lulusan dengan
5
pendapatan lebih tinggi membayar jumlah yang lebih besar, sehingga waktu pelunasan
hutangnya lebih pendek.
Karena peningkatan mutu pendidikan tinggi adalah agenda politik yang tidak
dapat ditawar lagi, sebaiknya Menteri Pendidikan Nasional pada Kabinet Indonesia
Bersatu memilih Opsi Ketiga untuk mengatasi kendala pembiayaan guna melaksanakan
kebijakan nasional perndidikan tinggi. Alokasi APBN yang tesedia untuk pendidikan
tinggi diperkirakan mencapai Rp. 6 – 7 trilyun per tahun. Jumlah tersebut amat
memungkinkan pelaksanaan program pembangunan pendidikan tinggi untuk
meningkatkan mutu, meningkatkan partisipasi dan meningkatkan akses pendidikan tinggi
secara berkeadilan untuk 1,4 – 1,5 juta mahasiswa. Program ini akan mempunyai
dampak positif terhadap popularitas Kabinet Indonesia Bersatu.
Yogyakarta, 22 Oktober 2004
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar