Senin, 19 Oktober 2009

MAKALAH
MANAJEMEN PENDIDIKAN
”MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH”
Disusun Oleh :
Ranu Sudarmono (04504241034)
Kelas A
JURUSAN PENDIDIKAN TEKNIK OTOMOTIF
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2007
MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH
Abstrak: Konsekwensi logis dari diberlakukannya Undang-Undang RI No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan Pemerintah RI No.25 tentang Kewenangan Pemerintah (Pusat) dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom, dan bukti-bukti empirik yang menunjukkan bahwa manajemen berbasis pusat merupakan salah satu faktor yang menyebabkan kurang optimalnya kinerja sekolah adalah perlu diterapkanya manajemen berbasis sekolah (MBS). Esensi MBS adalah otonomi sekolah plus pengambilan keputusan partisipatif. Otonomi sekolah adalah kewenangan sekolah untuk mengatur dan mengurus kepentingan warga sekolah menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi warga sekolah sesuai dengan peraturan perundang-undangan pendidikan nasional yang berlaku. Pengambilan keputusan partisipatif adalah cara mengambil keputusan yang melibatkan kelompok-kelompok kepentingan sekolah, terutama yang akan melaksanakan keputusan dan yang akan terkena dampak keputusan. Tujuan MBS adalah untuk memandirikan/memberdayakan sekolah. Tahap-tahap pelaksanaan MBS dapat diurutkan seperti berikut: mensosialisasikan konsep MBS, melakukan analisis sasaran, merumuskan sasaran, mengidentifikasi fungsi-fungsi yang diperlukan untuk mencapai sasaran, melakukan analisis SWOT, menyusun rencana sekolah, mengimplementasikan rencana sekolah, melakukan evaluasi, dan merumuskan sasaran baru.
Kata kunci :manajemen berbasis pusat, manajemen berbasis daerahotonpmi sekolah ,manajemen berbasis sekolah
1. Pendahuluan
Seiring dengan era globalisasi dan bergulirnya reformasi di negara ini telah membawa perubahan-perubahan mendasar dalam berbagai lingkungan termasuk lingkungan pendidikan. Salah satu contoh perubahan mendasar yang sedang digulirkan saat ini adalah manajemen negara.
Manajemen negara, yaitu dari suatu manajemen berbasis pusat menjadi manajemen berbasis daerah. Secara formal, perubahan manajemen ini telah dibuat dalam bentuk "Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah" yang kemudian diikuti pedoman pelaksanaannya berupa "Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000” tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonomi. Konsekwensi logis dari Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah tersebut adalah bahwa manajemen pendidikan harus disesuaikan dengan jiwa dan semangat otonomi. Oleh sebab itu, maka manajemen pendidikan berbasis pusat yang selama ini telah dilaksanakan dan dipraktekkan di negara ini perlu diubah menjadi manajemen pendidikan berbasis sekolah.
Menurut Caldwell and Spink(1988), strategi pengelolaan pendidikan yang mengedepankan kerja sama antara berbagai pihak yang dikenal dengan istilah the collaborative school management yang pada perkembangan selanjutnya menjadi model pengelolaan sekolah yang dinamakan school based management atau Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).
School Based Management (SBM) atau Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan bentuk alternatif pengelolaan sekolah dalam bentuk desentralisasi bidang pendidikan, yang ditandai adanya otonomi luas di tingkat sekolah, partisipasi masyarakat yang tinggi, dan dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional (tim Bappenas & bank Dunia, 1999:10).
2. Materi
Manajemen Berbasis Sekolah berasal dari tiga kata, yaitu manajemen, berbasis, dan sekolah. Manajemen adalah pengkoordinasian dan penyerasian sumberdaya melalui sejumlah input manajemen untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan atau untuk memenuhi kebutuhan pelanggan. Input manajemen terdiri dari tugas, rencana, program, limitasi yang terwujud dalam bentuk ketentuan-ketentuan, pengendalian (tindakan turun tangan), dan kesan dari anak buah ke atasannya). Pengertian manajemen tersebut, menurut Poernomosidi Hadjisarosa (1997) dapat dilukiskan seperti pada Gambar berikut :
Gambar Manajemen
Sumber: Poernomosidi Hadjisarosa, 1997
Keterangan: SDM-M (sumberdaya manusia manajer) mengatur sumber daya manusia pelaksana (SDM-P) melalui input manajemen yang terdiri dari (T = Tugas; R = Rencana, P = Program; T3 = Tindakan Turun Tangan; K = Kesan) agar SDM-P menggunakan jasa manusianya (Jm) untuk bercampur tangan terhadap sumber daya selebihnya (SD-slbh), sehingga proses dapat berlangsung dengan baik untuk menghasilkan output.
Sedangkan Berbasis berarti "berdasarkan pada" atau "berfokuskan pada". Sedangkan pengertian dari sekolah adalah suatu organisasi terbawah dalam jajaran Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) yang bertugas memberikan "bekal kemampuan dasar" kepada peserta didik atas dasar ketentuan-ketentuan yang bersifat legalistik (makro, meso, mikro) dan profesionalistik (kualifikasi, untuk sumber daya manusia; spesifikasi untuk barang/jasa, dan prosedur-prosedur kerja).
Dari pengertian diatas dapat dirangkum bahwa "manajemen berbasis sekolah" adalah pengkoordinasian dan penyerasian sumberdaya yang dilakukan secara otonomis (mandiri) oleh sekolah melalui sejumlah input manajemen untuk mencapai tujuan sekolah dalam kerangka pendidikan nasional, dengan melibatkan semua kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan (partisipatif)".
Catatan: kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah meliputi: kepala sekolah dan wakil-wakilnya, guru, siswa, konselor, tenaga administratif, orangtua siswa, tokoh masyarakat, para profesional, wakil pemerintahan, wakil organisasi pendidikan. Lebih ringkas lagi, manajemen berbasis sekolah dapat dirumuskan sebagai berikut (David, 1989): manajemen berbasis sekolah = otonomi manajemen sekolah + pengambilan keputusan partisipatif.
MBS menawarkan kepada sekolah untuk menyediakan pendidikan yang lebih baik dan lebih memadai bagi para peserta didik. Adanya otonomi dalam pengelolaan pendidikan merupakan potensi bagi sekolah untuk meningkatkan kinerja para personil menawarkan partisipasi langsung pihak-pihak terkait dan meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Otonomi sekolah juga berperan dalam menampung konsensus umum yang meyakini bahwa sedapat mungkin, keputusan seharusnya dibuat oleh mereka yang memiliki akses paling baik terhadap informasi setempat, mereka yang bertanggungjawab terhadap kebijakan, dan mereka yang terkena akibat-akibat dari kebijakan tersebut. Hal ini sejalan dengan pemikiran Wirt & Kirst (1982:147), yang menyatakan bahwa better education would be possible if locally based,. (lihat juga Fiske, 1998).
MBS dapat dikatakan merupakan model pengelolaan pendidikan yang relatif baru bagi sekolah-sekolah di Indonesia. Model ini mulai diujicobakan tahun 1999/2000 pada 140 SMUN dan 248 SLTPN dan pada tahun 2000/2001 pada 486 SMUN dan 158 SLTPN yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia (Dikmenum, 2000d : 3). Hal ini disebabkan karena manajemen berbasis sekolah pada umumnya memiliki ciri-ciri universal, sehingga setiap sekolah yang akan mengadopsi model ini perlu mengadaptasikannya/menyesuaikannya dengan karakteristik kancah di sekolah masing-masing. Model manajemen berbasis sekolah berikut pada dasarnya ditampilkan menurut pendekatan sistem (berfikir sistem), yaitu output-proses-input. Urutan ini dipilih dengan alasan bahwa setiap kegiatan sekolah akan dilakukan, termasuk kegiatan melakukan analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, and Threat), semestinya dimulai dari "output" yang akan dicapai, kemudian ke "proses", dan baru ke "input" yang dibutuhkan untuk berlangsungnya proses. Namun, langkah-langkah pemecahan persoalannya ditempuh dengan mengikuti urutan yang berlawanan dengan arah analisis SWOT.
Karena manajemen berbasis sekolah telah merupakan jiwa dan semangat sekolah, maka setiap penjelasan berikut telah menginklusifkan otonomi dan partisipasi ke dalamnya, meskipun tanpa menyebut istilah otonomi dan partisipasi. Artinya, setiap pembahasan butir-butir berikut selalu dijiwai oleh otonomi dan partisipasi dalam pengambilan keputusan sekolah. Secara ringkas, manajemen berbasis sekolah dapat diuraikan seperti berikut (Slamet PH, 2000; Direktorat Pendidikan Menengah Umum, 2000).
Output
Output sekolah diukur dengan kinerja sekolah. Kinerja sekolah adalah pencapaian/prestasi yang dihasilkan oleh proses/perilaku sekolah. Kinerja sekolah dapat diukur dari efektivitasnya, kualitasnya, produktivitasnya, efisiensinya, inovasinya, kualitas kehidupan kerjanya, dan moral kerjanya, dengan keterangan seperti berikut :
Efektivitas adalah ukuran yang menyatakan sejauh mana sasaran (kuantitas, kualitas, waktu) telah dicapai. Dalam bentuk persamaan, efektivitas sama dengan hasil nyata dibagi hasil yang diharapkan.
Kualitas adalah gambaran dan karakteristik menyeluruh dari barang atau jasa, yang menunjukkan kemampuannya dalam memuaskan kebutuhan yang ditentukan atau yang tersirat. Mutu barang atau jasa dipengaruhi oleh banyak tahapan kegiatan yang saling berhubungan seperti disain, operasi produk atau jasa dan pemeliharaannya.
Produktivitas adalah hasil perbandingan antara output dibagi input. Baik output maupun input adalah dalam bentuk kuantitas. Kuantitas input berupa tenaga kerja, modal, bahan, dan energi. Kuantitas output dapat berupa jumlah barang atau jasa, tergantung pada jenis pekerjaan.
Efisiensi dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu efisiensi internal dan efisiensi eksternal. Efisiensi internal menunjuk kepada hubungan antara output pendidikan (pencapaian belajar) dan input (sumberdaya) yang digunakan untuk memroses/menghasilkan output pendidikan (Coombs & Hallak, 1987). Efisiensi internal biasanya diukur dengan biaya-efektivitas. Setiap penilaian biaya-efektivitas selalu memerlukan dua hal, yaitu penilaian ekonomik untuk mengukur biaya masukan (input) dan penilaian hasil pembelajaran (prestasi belajar, lama belajar, angka putus sekolah). Sedang efisiensi eksternal adalah hubungan antara biaya yang digunakan untuk menghasilkan tamatan dan keuntungan kumulatif (individual, sosial, ekonomik, dan non-ekonomik) yang didapat setelah pada kurun waktu yang panjang diluar sekolah. Analisis biaya-manfaat merupakan alat utama untuk mengukur efisiensi eksternal.
Inovasi adalah proses yang kreatif dalam mengubah input, proses, dan output agar dapat sukses dalam menanggapi dan mengantisipasi perubahan-perubahan internal dan eksternal sekolah. Inovasi selalu memberikan nilai tambah terhadap input, proses, maupun output yang ada.
Kualitas kehidupan kerja adalah kinerja sekolah yang ditunjukkan oleh ukuran tentang bagaimana warga sekolah merasakan hal-hal seperti: pekerjaannya, kemanfaatannya, kondisi kerjanya, kesan dari anak buah terhadap bapak/ibu buah, kawan/kolega kerjanya, peluang untuk maju, pengembangan, kepastian, keselamatan dan keamanan, dan imbal jasanya.
Moral kerja adalah tingkat baik buruknya warga sekolah terhadap pekerjaannya yang ditunjukkan oleh etika kerjanya, kedisiplinannya, kejujurannya, kerajinannya, komitmennya, tanggungjawabnya, hubungan kerjanya, daya adaptasi dan antisipasinya, motivasi kerjanya, dan jiwa kewirausahaannya (bersikap dan berpikir mandiri, memiliki sikap berani mengambil resiko, tidak suka mencari kambing hitam, selalu berusaha menciptakan dan meningkatkan nilai sumberdaya, terbuka terhadap umpan balik, selalu ingin mencari perubahan yang lebih baik, tidak pernah merasa puas dan terus menerus melakukan inovasi dan improvisasi demi perbaikan selanjutnya, dan memiliki tanggungjawab moral yang baik).
Proses
Proses merupakan berubahnya "sesuatu" menjadi "sesuatu yang lain". Sesuatu yang berpengaruh terhadap berlangsungnya proses disebut "input", sedang sesuatu dari hasil proses disebut output. Dalam pendidikan bersekala mikro (sekolah), proses yang dimaksud adalah:
a. Proses Pengambilan Keputusan
Proses pengambilan keputusan partisipatif merupakan salah satu "inti" manajemen berbasis sekolah. Esensi proses pengambilan keputusan partisipatif (Cangemi, 1985) adalah untuk mencari "wilayah kesamaan" antara kelompok-kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah (stakehorder) yaitu kepala sekolah, guru, siswa, orangtua siswa, dan pemerintah/yayasan).
b. Pengelolaan Kelembagaan
Sekolah, sebagai lembaga pendidikan, harus dikelola secara profesional agar menjadi "sekolah belajar" (learning school) yang mampu menjamin kelangsungan hidup dan perkembangannya
c. Proses Pengelolaan Program
Pengelolaan program merupakan pengkoordinasian dan penyerasian program sekolah, yang meliputi: (1) perencanaan, pengembangan, dan evaluasi program sekolah, (b) pengembangan kurikulum, (c) pengembangan proses belajar mengajar, (d) pengelolaan sumberdaya manusia (guru, karyawan, konselor, dsb.), (e) pelayanan siswa, (f) pengelolaan fasilitas, (g) pengelolaan keuangan, (h) perbaikan program, dan (i) pembinaan hubungan antara sekolah dan masyarakat.
d. Proses Belajar Mengajar
Sedang proses belajar mengajar merupakan pemberdayaan pelajar yang dilakukan melalui interaksi perilaku pengajar dan perilaku pelajar, baik di ruang maupun di luar kelas. Karena proses belajar mengajar merupakan pemberdayaan pelajar, maka penekanannya bukan sekadar penguasaan pengetahuan tentang apa yang diajarkan (logos), tetapi merupakan internalisasi tentang apa yang diajarkan sehingga tertanam dan berfungsi sebagai muatan nurani dan dihayati serta dipraktekkan oleh pelajar (etos). Selain itu, proses belajar mengajar semestinya lebih mementingkan proses pencarian jawaban dari pada memiliki jawaban. Karena itu, proses belajar mengajar yang lebih mementingkan jawaban baku yang dianggap benar oleh pengajar adalah kurang efektif. Proses belajar mengajar yang efektif semestinya menumbuhkan daya kreasi, daya nalar, rasa keingintahuan, dan eksperimentasi-eksperimentasi untuk menemukan kemungkinan-kemungkinan baru (meskipun hasilnya keliru), memberikan keterbukaan terhadap kemungkinan-kemungkinan baru, menumbuhkan demokrasi, dan memberikan toleransi pada kekeliruan-kekeliruan akibat kreativitas berfikir.
Input
Input adalah segala sesuatu yang harus tersedia karena dibutuhkan untuk berlangsungnya proses. Sesuatu yang dimaksud tidak harus berupa barang, tetapi juga dapat berupa perangkat dan harapan-harapan sebagai pemandu bagi berlangsungnya proses.
3. Masalah
Selama ini, menurut Bank Dunia (1998: xi, 69-73) dalam salah satu laporannya mengungkapkan sekolah hanyalah kepanjangan tangan birokrasi pemerintah pusat untuk menyelenggarakan urusan politik pendidikan. Para pengelola sekolah sama sekali tidak memiliki banyak kelonggaran untuk mengoperasikan sekolahnya secara mandiri. Semua kebijakan tentang penyelenggaran pendidikan di sekolah umumnya diadakan di tingkat pemerintah pusat atau sebagian di instansi vertikal dan sekolah hanya menerima apa adanya. Apa saja muatan kurikulum pendidikan di sekolah adalah urusan pusat, kepala sekolah dan guru harus melaksanakannya sesuai dengan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknisnya. Anggaran pendidikan mengalir dari pusat ke daerah menelusuri saluran birokrasi dengan begitu banyak simpul yang masing-masing menginginkan bagian. Tidak heran jika nilai akhir yang diterima di tingkat paling operasional telah menyusut lebih dari separuhnya. Kita khawatir, jangan-jangan selama ini lebih dari separuh dana pendidikan sebenarnya dipakai untuk hal-hal yang sama sekali tidak atau kurang berurusan dengan proses pembelajaran di level yang paling operasional, sekolah. Dan juga Manajemen berbasis pusat yang selama ini telah dilaksanakan dan dipraktekkan memiliki banyak kelemahan, antara lain: keputusan pusat sering kurang sesuai dengan kebutuhan sekolah; administrasi berlebihan yang dikarenakan lapis-lapis birokrasi yang terlalu banyak telah menyebabkan kelambanan dalam menangani setiap permasalahan, sehingga menyebabkan kurang optimalnya kinerja sekolah; dalam kenyataan, administrasi telah mengendalikan kreasi; proses pendidikan dijalankan dengan undermanaged sehingga menghasilkan tingkat efektivitas dan efisiensi yang rendah; pendekatan sarwa-negara (state-driven) telah menempatkan sekolah pada posisi yang marginal, sehingga sekolah tidak berdaya, tidak memiliki keberanian moral (prakarsa) untuk berinisiatif; sekolah tidak mandiri; terjadi penyumbatan dan bahkan pemasungan demokrasi; sekolah tidak peka dan jeli dalam menangkap dan mengungkap permasalahan, kebutuhan, dan aspirasi pendidikan dari masyarakat; dan manajemen berbasis pusat tidak saja menumpulkan daya kreativitas sekolah, tetapi juga mengikis habis rasa kepemilikan warga sekolah terhadap sekolahnya.Selain itu telah lama pengaturan yang bersifat birokratik lebih dominan dari pada tanggungjawab profesional, sehingga kreativitas sekolah pada umumnya dan guru pada khususnya terpasung dan bahkan terbunuh. Tidak jarang pula dijumpai bahwa formalitas sering jauh melampaui hakiki. Yang lebih parah lagi guru-guru kehilangan "jiwa kependidikannya". Mendidik tidak lebih dari sekadar pengenalan nilai-nilai, yang hasilnya hanya berupa pengetahuan nilai (logos) dan belum sampai pada penghayatan nilai (etos), apalagi sampai pengamalannya. Akibatnya, menurut Aburizal Bakrie (1999), proses belajar mengajar di sekolah lebih mementingkan jawaban baku yang dianggap benar oleh guru, dibanding daya kreasi, nalar, dan eksperimentasi peserta didik untuk menemukan kemungkinan-kemungkinan baru. Tidak ada keterbukaan dan demokrasi. Tidak ada toleransi pada kekeliruan akibat kreativitas berpikir, karena yang benar adalah apa yang dipersepsikan benar oleh guru, sehingga yang terjadi hanyalah memorisasi dan "recall" dan tidak dihargainya kreativitas dan kemampuan peserta didik. Padahal, pembelajaran yang sebenarnya semestinya lebih mementingkan pada proses "pencarian jawaban" dibanding "memiliki jawaban".
4. Pemecahan
a. Manajemen berbasis sekolah dipandang sebagai alternatif dari pola umum pengoperasian sekolah yang selama ini memusatkan wewenang di kantor pusat dan daerah. Penerapan Manajemen berbasis sekolah adalah strategi untuk meningkatkan pendidikan dengan mendelegasikan kewenangan pengambilan keputusan penting dari pusat dan ke arah ke tingkat sekolah. Dengan demikian, Manajemen berbasis sekolah pada dasarnya merupakan sistem manajemen di mana sekolah merupakan unit pengambilan keputusan penting tentang penyelenggaraan pendidikan secara mandiri. MBS memberikan kesempatan pengendalian lebih besar bagi kepala sekolah, guru, murid, dan orang tua atas proses pendidikan di sekolah mereka guna mengedepankan kerjasama antara berbagai pihak tersebut di atas yang lebih dikenal dengan istilah collaborative school management lihat (Caldwell dan Spink, 1988)
b. Dalam pendekatan ini, tanggung jawab pengambilan keputusan tertentu mengenai anggaran, kepegawaian, dan kurikulum ditempatkan di tingkat sekolah dan bukan di tingkat daerah, apalagi pusat. Melalui keterlibatan guru, orang tua, dan anggota masyarakat lainnya dalam keputusan-keputusan penting itu, MBS dipandang dapat menciptakan lingkungan belajar yang efektif bagi para murid. Dengan demikian, pada dasarnya MBS merupakan upaya untuk memandirikan sekolah dengan memberdayakannya. Dengan diterapkannya manajemen berbasis sekolah ,maka didiharapkan prestasi belajar murid lebih mungkin meningkat dari pada majanemen yang berbasis di pusat /di tingkat daerah. Para kepala sekolah akan cenderung lebih peka dan sangat mengetahui kebutuhan murid dan sekolahnya ketimbang para birokrat yang ada di tingkat pusat atau daerah. Lebih lanjut dinyatakan bahwa reformasi pendidikan yang bagus sekalipun tidak akan berhasil jika para guru yang harus menerapkannya tidak berperanserta merencanakan-nya.
c. Menentukan tingkat kesiapan setiap fungsi dan faktor-faktornya melalui analisis SWOT (Strength, Weaknes, Opportunity, and Threat). Analisis SWOT dilakukan dengan maksud mengenali tingkat kesiapan setiap fungsi dari keseluruhan fungsi yang diperlukan untuk mencapai tujuan situasional yang telah ditetapkan. Berhubung tingkat kesiapan fungsi ditentukan oleh tingkat kesiapan masing-masing faktor yang terlibat pada setiap fungsi, maka analisis SWOT dilakukan terhadap keseluruhan faktor dalam setiap fungsi, baik faktor yang tergolong internal maupun eksternal. Tingkat kesiapan harus memadai, artinya, minimal memenuhi ukuran kesiapan yang diperlukan untuk mencapai tujuan situasional, yang dinyatakan sebagai: kekuatan, bagi faktor yang tergolong internal; peluang, bagi faktor yang tergolong faktor eksternal. Sedang tingkat kesiapan yang kurang memadai, artinya tidak memenuhi ukuran kesiapan, dinyatakan bermakna: kelemahan, bagi faktor yang tergolong faktor internal; dan ancaman, bagi faktor yang tergolong faktor eksternal.
d. Memilih langkah-langkah pemecahan (peniadaan) persoalan, yakni tindakan yang diperlukan untuk mengubah fungsi yang tidak siap menjadi fungsi yang siap. Selama masih ada persoalan, yang sama artinya dengan ada ketidaksiapan fungsi, maka tujuan situasional yang telah ditetapkan tidak akan tercapai. Oleh karena itu, agar tujuan situasional tercapai, perlu dilakukan tindakan-tindakan yang mengubah ketidaksiapan menjadi kesiapan fungsi. Tindakan yang dimaksud lazimnya disebut langkah-langkah pemecahan persoalan, yang hakekatnya merupakan tindakan mengatasi makna kelemahan dan/atau ancaman, agar menjadi kekuatan dan/atau peluang, yakni dengan memanfaatkan adanya satu/lebih faktor yang bermakna kekuatan dan/atau peluang.
e. Selain itu lingkungan sekolah sebagai lembaga pendidikan, harus dikelola secara profesional agar menjadi "sekolah belajar" (learning school) yang mampu menjamin kelangsungan hidup dan perkembangannya. Menurut Bovin (1998), untuk menjadi sekolah belajar, maka sekolah harus:
1). memberdayakan sumber daya manusianya seoptimal mungkin,
2). memfasilitasi warga sekolahnya untuk belajar terus dan belajar kembali,
3). mendorong kemandirian (otonomi) setiap warganya,
4). memberikan tanggungjawab kepada warganya,
5). mendorong setiap warganya untuk "mempertanggungugatkan" (accountability) terhadap hasil kerjanya,
6). mendorong adanya teamwork yang kompak dan cerdas dan shared value bagi setiap warganya,
7). merespon dengan cepat terhadap pasar (pelanggan),
8). mengajak warganya untuk menjadikan sekolahnya customer focused,
9). mengajak warganya untuk nikmat/siap berhadap perubahan,
10). mendorong warganya untuk berfikir sistem, baik dalam cara berfikir, cara mengelola, maupun cara menganalisis sekolahnya,
11). mengajak warganya untuk komitmen terhadap "keunggulan kualitas",
12). mengajak warganya untuk melakukan perbaikan secara terus-menerus, dan
13). melibatkan warganya secara total dalam penyelenggaraan sekolah.
f. Melaksanakan program-program untuk merealisasikan rencana jangka pendek manajemen berbasis sekolah. Dalam pelaksanaan, semua input yang diperlukan untuk berlangsungnya proses (pelaksanaan) manajemen berbasis sekolah harus siap. Jika input tidak siap/tidak memadai, maka tujuan situasional tidak akan tercapai. Yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan adalah pengelolaan kelembagaan, pengelolaan program, dan pengelolaan proses belajar mengajar.
g. Pemantauan terhadap proses dan evaluasi terhadap hasil manajemen berbasis sekolah perlu dilakukan. Hasil pantauan proses dapat digunakan sebagai umpan balik bagi perbaikan penyelenggaraan dan hasil evaluasi dapat digunakan untuk mengukur tingkat ketercapaian tujuan situasional yang telah dirumuskan. Demikian kegiatan ini dilakukan secara terus-menerus, sehingga proses dan hasil manajemen berbasis sekolah dapat dioptimalkan.
5. Penutup
Mengubah manajemen berbasis pusat atau daerah menjadi manajemen berbasis sekolah merupakan suatu proses yang panjang dan melibatkan seluruh komponen yang bersangkutan dan banyak pihak. Perubahan ini memerlukan penyesuaian-penyesuaian, baik sistem (struktur)nya, kulturnya, maupun figurnya, dengan tuntutan-tuntutan baru manajemen berbasis sekolah. Dlam rangka pelaksanaan konsep menejemen ini, strategi yang dapat dilaksanakan oleh sekolah antara lain meliputi evaluasi dir untuk menganalisis kekuatan dan kelemahan sekolah, dalam pernyusunan program, sekolash harus menetapkan indikator atau target mutu yang akan dicapai. Kegiatan yang tak kalah pentingnya adalah melakukan monitoring dan evaluasi program yang telah direncanakan sesuai dengan pendanaannya guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan sesuai dengan kebijakan nasional dan target mutu yang dicapai serta melaporkan hasilnya kepada masyarakat dan pemerintah pada umumnya. Oleh karena itu, kita tidak bermimpi bahwa perubahan ini akan berlangsung sekali jadi dan baik hasilnya. Dengan demikian, fleksibiltas dan eksperimentasi-eksperimentasi yang menghasilkan kemungkinan-kemungkinan baru dalam penyelenggaraan manajemen berbasis sekolah perlu didorong. Dengan Penerapan Menejemen Berbasis Sekolah secara efektif maka diharapkan dapat mendorong kinerja kepala sekolah dan guru yang pada gilirannya akan meningkatkan prestasi anak didik
6. Daftar pustaka
Suryosubroto,Drs.B.Manajemen Pendidikan Di Sekolah ,Rineka Cipta,Jakarta,2004.
Dharma Agus,(2003). Manajemen Berbasis Sekolah ,http://www.ed.gov/databases/ERIC_Digests/ed301969.html
Slamet, P.H.(2000). Manajemen Berbasis Sekolah. http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/27/manajemen_berbasis_sekolah.htm



sumber :http://one.indoskripsi.com/artikel-skripsi-tentang/manajemen-berbasis-sekolah

Jumat, 09 Oktober 2009

sumber : http://pmbpsikologi.blogspot.com


KONTRAK BELAJAR

PEMBIMBINGAN MAHASISWA BARU 2009

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS INDONESIA

I. Bentuk Kegiatan

I.1. Definisi Kegiatan

Pembimbingan Mahasiswa Baru 2009 (selanjutnya disebut PMB) Fakultas Psikologi Universitas Indonesia adalah sebuah rangkaian acara yang bertujuan untuk memberikan pengenalan sistem akademik dan kehidupan kampus Fakultas Psikologi UI kepada peserta yang bersangkutan. Semua kegiatan yang disebutkan dalam kontrak belajar ini akan merujuk pada kegiatan PMB.


Rangkaian PMB 2009 adalah:

1. Briefing PSAF(Briefing Pengenalan Sistem Akademik Fakultas )

Bagian dari rangkaian acara yang berisi perkenalan mengenai kegiatan PMB dan persiapan untuk menghadapi PSAF 2009 Fakultas Psikologi UI.

2. Pra PSAF (Pra Pengenalan Sistem Akademik Fakultas)

Bagian dari rangkaian acara yang merupakan persiapan untuk menghadapi PSAF 2009 Fakultas Psikologi UI.

3. PSAF (Pengenalan Sistem Akademik Fakultas)

Pemberian pengenalan sistem akademik universitas yang dimiliki oleh Fakultas Psikologi UI.

4. Prosesi (Proses Penyesuaian Diri)

Pemberian pengenalan kehidupan kemahasiswaan di Fakultas Psikologi UI untuk dapat menyesuaikan diri di Fakultas Psikologi UI.


I.2. Sifat Kegiatan

PSAF sifatnya adalah wajib, sedangkan kegiatan selain PSAF merupakan acara yang bersifat pilihan.

Konsekuensi keikutsertaan dalam PMB adalah kesempatan untuk lulus kemahasiswaan yaitu berhak dinyatakan sebagai anggota aktif Ikatan Keluarga Mahasiswa (Selanjutnya disebut IKM ) Fakultas Psikologi UI dan memiliki hak yang tercantum dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (selanjutnya disebut AD/ART) Bab I keanggotaan pasal 4.

Konsekuensi ketidakikutsertaan dalam PMB adalah hilangnya kesempatan pada tahun ajaran 2009-2010 untuk lulus kemahasiswaan dan hilangnya kesempatan untuk dinyatakan sebagai anggota aktif IKM Fakultas Psikologi UI serta tidak memiliki hak anggota aktif yang tercantum dalam ART Bab I Keanggotaan pasal 4 sampai yang bersangkutan lulus kemahasiswaan.

Hak anggota aktif IKM F.Psi UI yang tercantum pada ART Bab I Keanggotaan pasal 4 adalah sebagai berikut:

a. mendapatkan pelayanan dan fasilitas yang disediakan IKM Fakultas Psikologi UI menurut prosedur yang berlaku;

b. mendapatkan advokasi akademis dan nonakademis;

c. mengeluarkan pendapat baik lisan maupun tulisan;

d. memilih dan/atau dipilih dalam pemilu sesuai dengan prosedur yang berlaku;

e. menjadi peserta dan/atau panitia dalam semua kegiatan kemahasiswaan di tingkat fakultas;

f. menjadi pengurus lembaga kemahasiswaan di tingkat fakultas; dan

mengajukan tuntutan kepada anggota IKM Fakultas Psikologi UI dan/atau lembaga di dalam IKM Fakultas Psikologi UI yang melakukan pelanggaran terhadap aturan-aturan IKM Fakultas Psikologi UI sesuai dengan prosedur yang berlaku.


I.3. Waktu Kegiatan

Kegiatan PMB akan berlangsung dari tanggal 9 Agustus–30 September 2009 dengan rincian sebagai berikut:

Briefing PSAF : 8 Agustus 2009

Pra-PSAF : 17 Agustus 2009

PSAF : 20-21 Agustus 2009

Prosesi : 31 Agustus–30 September 2009


I.4. Pertanggungjawaban MPM dan BEM Fakultas Psikologi UI

(1) Penanggung jawab prosedur penerimaan anggota aktif adalah MPM F. Psi UI.

(2) Penyelenggara prosedur penerimaan anggota aktif adalah BEM F. Psi UI.

Sedangkan acara selain kegiatan PMB berada di luar tanggung jawab MPM dan BEM Fakultas Psikologi UI.


II. Peserta PMB 2009

II.1. Definisi Peserta

Peserta acara PMB adalah mahasiswa baru Fakultas Psikologi Universitas Indonesia angkatan 2009, meliputi program S1 Reguler dan Kelas Internasional (KI), serta mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Indonesia yang belum mengikuti atau tidak lulus acara PMB Fakultas Psikologi Universitas Indonesia di tahun sebelumnya.


II.2. Kewajiban Peserta PMB

Peserta PMB memiliki kewajiban secara umum, yaitu:

1. Menjaga ketertiban, keamanan, dan kebersihan tempat pelaksanaan kegiatan selama acara berlangsung.

2. Bertingkah laku sopan dan santun.

3. Melaksanakan tata tertib yang telah ditentukan oleh panitia dengan bijaksana serta penuh kedewasaan dan tanggung jawab.

4. Turut serta dalam memelihara dan menjaga lingkungan (tidak merusak, menjaga kebersihan dan keindahan)

Peserta PMB fakultas Psikologi UI memiliki kewajiban secara khusus, yaitu:

1. Mengikuti seluruh kegiatan PMB secara proaktif, disiplin, kritis, dan bertanggung jawab.

2. Hadir tepat waktu dalam kegiatan yang telah ditetapkan oleh panitia dan apabila datang terlambat, peserta wajib melapor kepada panitia yang telah ditunjuk.

3. Memakai seluruh atribut PMB yang telah ditetapkan oleh panitia.


II.3. Konsekuensi

Bagi setiap pelanggaran terhadap poin yang telah disebutkan di atas, maka peserta akan menerima konsekuensi sesuai dengan tingkat pelanggarannya, yaitu pelanggaran ringan, berat, dan khusus.


II.4. Hak Peserta PMB

1. Mengajukan pendapat, pertanyaan, serta masukan dalam aktivitas-aktivitas yang telah ditentukan selama kegiatan PMB berlangsung, sesuai dengan etika dan norma kesopanan.

2. Mengetahui jadwal setiap acara kegiatan PMB.

3. Mendapatkan keterangan tentang kelulusannya sesuai dengan syarat kelulusan yang telah ditentukan.

4. Dihitung presensinya berdasarkan kehadiran dalam acara PMB minimal satu kali dalam hari kegiatan.

5. Peserta yang mengikuti seluruh kegiatan dengan baik dan tidak melakukan pelanggaran dalam PSAF akan mendapatkan konsekuensi positif yang diberikan oleh pihak panitia.

6. Melakukan advokasi apabila merasa dirugikan pada saat dan setelah masa PMB berlangsung


II.5. Ketidak-ikutsertaan dengan alasan tertentu

1. Peserta PMB yang tidak dapat mengikuti kegiatan PMB wajib memberikan surat keterangan tidak dapat mengikuti kegiatan dengan alasan yang jelas dan dapat dipertanggung jawabkan, yaitu bila terjadi musibah, sakit, ataupun kematian anggota keluarga. Surat tersebut harus ditanda tangani oleh orangtua/wali dan peserta yang bersangkutan. Penyerahan surat keterangan tersebut paling lambat dua hari (2x24 jam) kepada panitia dari waktu kegiatan yang tidak diikuti oleh peserta yang bersangkutan. Alasan selain yang telah disebutkan di atas harus dikofirmasikan terlebih dahulu kepada panitia yang telah ditunjuk. Panitia yang ditunjuk akan menentukan boleh/tidaknya peserta yang bersangkutan untuk tidak mengikuti kegiatan. Dalam hal ini, panitia yang ditunjuk adalah Aditia Nakan (2007) selaku Project Officer dan Keisha Imanina (2007) selaku PJ Evaluasi.

2. Peserta yang sakit ketika pelaksanaan kegiatan dapat segera melapor kepada panitia dan hasil diagnosa dokter akan menentukan apakah peserta yang bersangkutan dapat melanjutkan aktivitas atau tidak.


III. Kelulusan

Kriteria kelulusan PMB 2009, adalah sebagai berikut :

1. Memenuhi syarat presensi yaitu mengikuti minimal 75% dari seluruh rangkaian kegiatan PMB 2009 Fakultas Psikologi UI. Syarat presensi 75% harus mencakup kehadiran pada acara PSAF karena acara tersebut bersifat wajib.

2. Indeks Prestasi Kumulatif tugas selama rangkaian PMB lebih dari sama dengan 2.30 dari skala 0-4.00 dengan rincian sebagai berikut:

i. Briefing PSAF : 1 SKS

ii. Pra-PSAF : 2 SKS

iii. PSAF : 6 SKS

iv. Prosesi, dengan rincian:

1. Workshop Menulis : 3 SKS

2. Social Project : 4 SKS

3. Open House BEM Fakultas Psikologi UI : 1 SKS

4. Log Book : 3 SKS

5. Acara Keagamaan : 1 SKS

6. Latihan Yell Guys : 1 SKS

7. Pementasan Penutupan PMB : 1 SKS

8. Esai tentang Musma : 1 SKS

Total SKS : 24 SKS

Perolehan Indeks Prestasi Kumulatif yang tinggi tetap dinyatakan tidak lulus apabila tidak memenuhi syarat presensi.

3. Jumlah peserta yang memenuhi persyaratan (1) dan (2) minimal 80% dari jumlah seluruh peserta PMB. Tidak tercapainya angka tersebut berarti seluruh peserta PMB 2009 dinyatakan tidak lulus.

III.2. Keadaan Khusus

Untuk situasi-situasi khusus dan mendadak tentang kelulusan seorang peserta PMB yang memerlukan peninjauan ulang akan dipertimbangkan dan diputuskan oleh panitia sesuai dengan peraturan dan kebijaksanaan pada kasus-kasus tertentu.




Kontrak ini harap dibaca dan dikritisi. Bila ada pertanyaan, harap ditanyakan pada briefing esok hari (sabtu, 8 agustus 2009) kepada panitia PMB..


terima kasih,

Humas PMB
sumber :

Menggugah Perspektif Masyarakat

Terhadap Paradigma Baru Sistem

Pendidikan (Nasional)

Menggugah Perspektif Masyarakat Terhadap Paradigma Baru
Sitem Pendidikan (Nasional)

Pendahuluan

Berbicara mengenai sistem pendidikan dinegara kita tercinta ini, seolah tidak ada habis-habisnya memicu kontroversi dan polemik berkepanjangan yang terus bergulir ditingkahi dengan komentar yang memunculkan pemeo seperti “ganti pimpinan (menteri) berarti ganti kebijakan (sistem)” atau “tahun ajaran baru, ganti buku baru”, apakah ini sudah menjadi “suratan takdir“ bagi anak bangsa ini yang harus dijalani dalam proses menuju perbaikannya ? Dipersilahkan anda untuk mencari jawaban yang paling pas menurut kaidah dan persepsi masing-masing, dengan tanpa meninggalkan pengertian bahwa segala sesuatu itu pasti akan mengalami perubahan dan hanya satu yang tidak dapat berubah yaitu perubahan itu sendiri.

Dunia pendidikan (nasional) dirasakan selalu tertinggal dibandingkan dengan perkembangan teknologi, informasi maupun dunia bisnis yang seharusnya seiring sejalan dalam perkembangannya mengikuti tuntutan dan zamannya, apakah karena dunia pendidikan lebih banyak dan harus berorientasi kepada human investment katimbang memikirkan profit and lost yang bernaung dalam suatu wadah/lembaga dengan embel-embel nirlaba ? Mungkin ini suatu fenomena yang sering terjadi dalam dunia pendidikan (nasional) manakala kita ingin maju dan dihadapkan pada tantangan globalisasi disemua sektor.

Dan sebagai konsekuensinya yang muncul ketika kita ingin mewujudkan harapan cita-cita mengembangkan dan meningkatkan mutu pendidikan dapat terwujud adalah bagaimana agar masyarakat mempunyai rasa memiliki (sense of belonging) terhadap perkembangan dunia pendidikan ini mengingat dalam membangun dan meningkatkan kualitas pendidikan tidak cukup hanya dengan memiliki spirit semata yang lebih konkrit lagi adalah terbentuknya suatu keinginan atau political will dan komitmen yang kuat dari segenap lapisan masyarakat.

Paradigma Baru Sitem Pendidikan

Dalam upaya menjawab kebutuhan dan tantangan dunia global saat ini, paling tidak ada dua aspek dalam sistem pendidikan yang dapat kita jadikan bahan kajian dan kita gali untuk dilakukan perubahan menjadi paradigma baru yang berlaku.

Aspek pertama adalah dalam hal metode pembelajaran, sejak dahulu metode pembelajaran kita selalu berorientasi dan bersumber hanya kepada guru dan berlangsung satu arah (one way), kita sepakat bahwa metode ini sudah tidak dapat dipertahankan lagi dengan tanpa mengenyampingkan bahwa guru itu tetap harus menjadi insan yang patut di gugu dan di tiru. Sudah saatnya kini orientasi berubah tidak hanya kepada satu sumber saja (guru), tetapi harus dilakukan berorientasi kepada siswa dan secara multi arah, dengan terjadinya proses interaksi ini diharapkan akan menstimulir para siswa untuk lebih menumbuhkan tingkat kepercayaan dirinya, proaktif, mau saling bertukar informasi, meningkatkan keterampilan berkomunikasi, berfikir kritis, membangun kerja sama, memahami dan menghormati akan adanya perbedaan pendapat dan masih banyak harapan positif lainnya yang lahir dari adanya perubahan tersebut serta pada akhirnya siswa akan dihadapkan pada realitas yang sebenarnya dalam memandang dan memahami konteks dalam kehidupan kesehariannya.

Aspek kedua adalah menyangkut manajemen lembaga pendidikan itu sendiri, seperti kita alami selama ini dimana pada waktu sebelumnya sekolah hanya bergerak dan beroperasi sendiri-sendiri secara mandiri, maka dalam konteks pembelajaran masa kini dan kedepan setiap sekolah harus mempunyai dan membangun networking antar lembaga pendidikan yang dapat saling bertukar informasi, pengetahuan dan sumber daya, artinya sekolah lain sebagai institusi tidak lagi dipandang sebagai rival atau kompetitor semata tetapi lebih sebagai mitra (counterpart).

Memang jika kita pikirkan kembali kedua aspek paradigma baru ini dalam implementasinya tidak akan semudah seperti membalik telapak tangan, akan banyak ekses maupun aspek lainnya yang harus dipikirkan seperti misalnya berakibat akan adanya perubahan dan peran sebuah lembaga pendidikan yang selama ini kita pahami. Namun melalui konteks perubahan ini kelak akan jelas terlihat bagaimana sektor pendidikan akan dapat bersinergi dan seiring sejalan dengan kemajuan dan perkembangan teknologi, pengetahuan dan bisnis sekalipun, karena ouput dari suatu pendidikan menjadi lebih berkualitas.

Implementasi Paradigma Baru Sisdiknas

Output yang bagaimana yang dapat kita harapkan dari suatu proses perubahan pendidikan dalam menuju kearah peningkatan kualitas adalah tergantung dari bagaimana kita mengimplemantisakan, dengan tetap berkomitmen dan berpegang pada aspek perubahan paradigma baru sistem pendidikan dan stressing nya difokuskan terhadap hal-hal berikut ini : (R.Eko Inrajit, 2006, Halaman 379)

1.Sistem Pendidikan harus diimplementasikan dengan berpegang pada prinsip “muatan lokal, orientasi global”
2.Konten dan kurikulum yang dibuat harus berbasis pada penciptaan kompetensi siswa (kognitif, afektif dan psikomotorik)
3.Proses belajar mengajar harus berorientasi pada pemecahan masalah riil dalam kehidupan, tidak sekedar mengawang-awang (problem base learning)
4.Fasilitas sarana dan prasarana harus berbasis teknologi informasi agar dapat tercipta jejaring pendidikan antar sekolah dan lembaga lainnya
5.Sumber daya manusia yang terlibat dalam proses pendidikan harus mempunyai kemampuan multi dimensi yang dapat merangsang multi intelejensi peserta didik
6.Manajemen pendidikan harus berbasis sekolah ? Sistem informasi terpadu untuk menunjang proses administrasi dan strategis
7.Otoritas pemerintah daerah diharapkan lebih berperan dalam menunjang infrastruktur dan suprastruktur pendidikan ? Sesuai strategi otonomi daerah yang diterapkan secara nasional.

Penutup

Kita sepaham dan sepakat pada akhirnya bahwa “nasib” keberhasilan anak bangsa ini untuk dapat berkompetisi dan berhasil memenangkan persaingan di segala sektor di era global ini berada pada institusi pendidikan
Dalam upaya menciptakan keunggulan kompetitif ini, masyarakat perlu berpartisipasi secara aktif untuk dapat menumbuhkan dan menciptakan inovasi yang berharga bagi perkembangan dunia pendidikan, karena tanpa ada inovasi yang signifikan, pendidikan nasional hanya akan menghasilkan output yang tidak mandiri, kurang percaya diri dan selalu akan tergantung pada pihak lain.

Dalam perspektif masyarakat terhadap pendidikan harus mampu menjembatani dan mengatasi kesenjangan antara proses, hasil dan pengalaman selama dibangku sekolah dengan kenyataan tuntutan hidup yang riil.

Dalam era globalisasi ini tantangan pendidikan menjadi tidak terbatas (waktu, lokasi dll), jika kita (masyarakat) berdiam diri dan tidak mempunyai keinginan untuk melakukan suatu perubahan kearah perbaikan, maka bersiap-siaplah kita sebagai bangsa akan termajinalisasikan secara alami.

Semoga hal ini tidak akan terjadi, bagaimana menurut anda ……………….?

Tangerang, 27 Juni 2007

Semoga hal ini tidak akan terjadi, bagaimana menurut anda ……………….?

Tangerang, 27 Juni 2007

Ditulis oleh :
Endang Suryana
Pemerhati dan Praktisi Pendidikan dan Pelatihan
Mitra Consulting & Training (MCT Foundation)

Kepustakaan :

David McNally & Karl D.Speak (2004), Be Your Own Brand, Penerbit Gramedia Jakarta
Jansen H. Sinamo & Agus Santosa (2002), Pemimpin Kredibel, Pemimpin Visioner, Penerbit Institut Darma Mahardika, Jakarta
R.Eko Indrajit & R.Djokopranoto (2006), Manajemen Perguruan Tinggi, Penerbit Andi Yogjakarta
Suyanto, Prof, Ph.D (2006), Dinamika Pendidikan Nasional, Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSAP) Muhammadiyah, Jakarta
Paradigma baru pendidikan dengan manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS)

Dalam paradigma lama, hubungan keluarga, sekolah, dan masyarakat dipandang sebagai institusi yang terpisah-pisah. Pihak keluarga dan masyarakat dipandang tabu untuk ikut campur tangan dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Apalagi sampai masuk ke wilayah kewenangan profesional para guru.

Dewasa ini, paradigma lama ini dalam batas-batas tertentu telah ditinggalkan. Keluarga memiliki hak untuk mengetahui tentang apa saja yang diajarkan oleh guru di sekolah. Orangtua siswa memiliki hak untuk mengetahui dengan metode apa anak-anaknya diajar oleh guru-guru mereka. Dalam paradigma transisional, hubungan keluarga dan sekolah sudah mulai terjalin, tetapi masyarakat belum melakukan kontak dengan sekolah.

Dalam paradigma baru (new paradigm) hubungan keluarga, sekolah, dan masyarakat harus terjalin secara sinergis untuk meningkatkan mutu layanan pendidikan, termasuk untuk meningkatkan mutu hasil belajar siswa di sekolah.

Sekolah adalah sebuah pranata sosial yang bersistem, terdiri atas komponen-komponen yang saling terkait dan pengaruh mempengaruhi. Komponen utama sekolah adalah siswa, pendidik dan tenaga kependidikan lainnya, kurikulum, serta fasiltias pendidikan. Selain itu, pemangku kepentingan (stakeholder) juga mempunyai pengaruh yang besar terhadap proses penyelenggaraan dan peningkatan mutu pendidikan. Dalam hal ini orangtua dan masyarakat merupakan pemangku kepentingan yang harus dapat bekerja sama secara sinergis dengan sekolah.

Proses penyelenggaraan pendidikan kini menggunakan pola manajemen yang dikenal dengan manajemen berbasis sekolah (MBS), yang dalam aspek teknis edukatif dikenal dengan manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS). Untuk itu, maka orangtua siswa, khususnya yang tergabung dalam Komite Sekolah juga harus memahami pola manajemen sekolah tersebut.

Dalam kegiatan Managing Basic Education (MBE), orangtua siswa di setiap kelas di suatu sekolah membentuk paguyupan kelas, yang beranggotakan orangtua siswa dengan tugas membantu guru kelas dalam merancang dan melaksanakan pembelajaran dengan konsep PAKEM (pembelajaran aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan). Ini merupakan satu bentuk keterlibatan keluarga dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan. Oleh karena itu, Komite Sekolah perlu memahami wawasan kependidikan tersebut.

Dikutip dari :

Pengantar dalam "Modul Pemberdayaan Pemberdayaan Komite Sekolah", oleh Yadi Haryadi, 2008, Departemen Pendidikan Nasional, Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Kegiatan Peningkatan Kegiatan dan Usaha Manajemen Pendidikan

sumber : http://herryanto.com